21 September 2023
Pernahkah kamu merasakan bahwa semua pencapaian yang digapai saat ini hanyalah keberuntungan semata? Atau kamu merasa bahwa pencapaian tersebut masih kurang bahkan tidak pantas untuk dapatkan padahal, kamu sudah berusaha mati-matian untuk meraihnya. Jika marasakan hal-hal tersebut, bisa jadi kamu memiliki Imposter Syndrome atau sindrom penipu.
Menurut Pauline Rose Clance dan Suzanne Imes, dua orang psikolog klinis yang pertama kali menemukan fenomena imposter pada tahun 1978, mendefinisikan imposter syndrome adalah kondisi perasaan cemas dan tidak merasa puas atas kesuksessan yang diraih oleh diri sendiri. Kondisi ini seringkali membuat orang merasa seperti “penipu” atau “palsu” dan meragukan kemampuannya.
Psikolog Klinis UGM, Tri Hayuning Tyas, S.Psi., M.A., mengatakan impostor syndrome atau impostor phenomenon merupakan fenomena psikologis dimana seseorang tidak mampu menerima dan menginternalisasi keberhasilan yang ia raih. Dengan kata lain, orang yang mengalami impostor syndrome selalu mempertanyakan dirinya sendiri atas pencapaian atau prestasi yang telah diraih. Ia merasa kesuksesan yang berhasil diraih merupakan bentuk dari keberuntungan atau kebetulan semata, bukan karena kemampuan intelektual diri.
Imposter syndrome, tidak sama dengan rendah hati. Imposter syndrome dapat menimbulkan kerusakan nyata seperti kecemasan, ketidakmampuan menikmati kesuksesan, dan merasa tidak layak atau tidak pantas untuk melanjutkan kariernya.
Beberapa tokoh terkenal bahkan pernah mengalami sidrom ini seperti, bintang Hollywood Charlize Theron dan Viola Davis, hingga pemimpin bisnis seperti Sheryl Sandberg, mantan Ibu Negara Michelle Obama, Hakim Agung Sonia Sotomayor, Neil Armstrong, Neil Gaiman, Lady Gaga, Tom Hanks dan masih banyak lagi.
Semua orang bisa merasakan imposter syndrome atau sindrom penipu dalam hidupnya. Imposter syndrome kerap muncul saat seseorang mendapatkan pencapaian tertinggi dalam hidupnya seperti, memperoleh promosi kerja, masuk pada unviersitas bergengsi, mendapatkan penghargaan atau mendapatkan pujian serta pengakuan publik.
Berikut beberapa ciri seseorang mengalami imposter syndrome:
Orang yang mengalami imposter syndrome, cenderung terus memotivasi dirinya untuk bekerja keras, bahkan lebih dari yang diperlukan. Namun, hal ini dilakukan semata-mata agar ia merasa aman dan tidak ada orang yang tahu bahwa dirinya adalah seorang “penipu”.
Sindrom penipu termasuk kedalam kategori distorsi kognitif yang merupakan manifestasi dari proses berfikir yang salah, berlebihan, dan tidak rasional. Imposter syndrome menyebabkan orang meragukan keterampilan dan prestasi mereka. Mereka meragukan tingginya penghargaan yang diberikan oleh orang lain kepada mereka, meragukan sejarah, dan rekam jejak mereka sendiri.
Namun dari mana datangnya keraguan dan distorsi ini? Meski dapat mengganggu kesehatan mental seseorang, sindrom penipu bukanlah kondisi psikologis resmi dan penyebabnya beragam. Penelitian menunjukkan bahwa sindrom penipu berasal dari kombinasi beberapa faktor:
1. Pola asuh keluarga
Proses perkembangan seseorang dari anak-anak menjadi dewasa, tentu pada setiap tahapannya terdapat target-target yang harus dicapai. Target ini dapat bersumber dari diri sendiri maupun orang lain seperti orang tua. Saat target-target tersebut tidak tercapai, tidak jarang individu tersebut merasa bersalah dan tidak yakin dengan kemampuan yang dimiliki.
Ketika anak tumbuh dengan dalam keluarga yang terlalu mengedepankan suatu pencapaian intelektual dan tidak cukup mengajarkan pada anak tentang bagaimana merespons kesuksesan maupun kegagalan maka, akan menjadi lahan subur bagi impostor syndrome untuk berkembang.
Sebagai contoh, saat seorang anak mendapatkan nilai 98 dalam ujian dengan usaha dan persiapan belajar yang maksimal, justru tidak diapresiasi baik oleh orang tuanya. Mereka mengatakan “Loh kok nilai kamu 98? Kenapa tidak 100?”. Tekanan yang diberikan oleh orang tua, dapat membuat anak meras tidak yakin dengan kemampuan yang dimiliki, takut gagal, dan merasa frustasi karna tidak mampu memenuhi ekspektasi dari lingkungannya.
2. Tekanan Sosial
Dewasa ini, tanpa disadari banyak sekali tuntutan sosial yang harus dicapai. Karier yang tinggi, stabil secara finansial, berkeluarga, maupuan target-target kerja yang harus dicapai merupakan segelintir pencapaian yang mungkin setiap orang ingin capai.
Tekanan sosial yang hadir mendorong individu untuk lebih kompetitif padahal, bisa saja target-target tersebut memang tidak sesuai dengan kemampuannya sehingga terus mendorong diri sendiri dan tidak pernah merasa puas. Ketika tidak mampu mencapai target-target yang ada individu tersebut rasa frustasi dan tidak mampu menganalisa kemampuan diri dan tuntutan yang diberikan sehingga menyebabkan burnout.
3. Sense of Belonging
Rasa memiliki atau sense of belonging juga dapat memicu timbulnya imposter syndrome. Individu dengan imposter syndrome akan memiliki rasa takut ketahuan dan dikucilkan dari grup atau kelompok sosial yang dimiliki.
Keadaan apa pun, bahkan di masa lalu, yang membuat seseorang merasa berbeda atau dikucilkan dari kelompoknya (bahasa, etnis, gender, status sosial-ekonomi, agama, atau perbedaan fisik atau pembelajaran) dapat memicu fenomena imposter. Individu tersebut merasa tidak diterima dan dikucilkan pada suatu kelompok padahal, semua itu hanyak bersumber dari pemikiran dia semata.
4. Kepribadian
Individu dengan tipe atau ciri kepribadian tertentu memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami imposter syndrome. Tipe atau ciri kepribadian tersebut diantaranya:
Walau bukan salah satu jenis gangguan mental, imposter syndrome yang dibiarkan berlarut-larut bisa menyebabkan seseorang mengalami gangguan kecemasan hingga depresi.
Untuk menghindari hal tersebut, ada beberapa cara yang bisa dilakukan guna menghadapi imposter syndrome, di antaranya:
1. Mengenali dan menghargai kemampuan diri
Menuliskan hal-hal yang telah berhasil dilakukan dan memberikan apresiasi terhadap diri sendiri sesederhana apapun pencapaiannya, merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan oleh orang dengan impostor sindrom untuk mulai memutus rantai pikiran yang meragukan kemampuan diri.
Perlu di ingat bahwa prestasi dan pencapaian yang telah kamu lakukan bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan banyak orang. Cobalah untuk mengingat pujian orang lain terhadap pencapaian kamu. Hal ini penting kamu lakukan dan sadari sebagai sebuah masukan positif.
2. Belajar menerima diri sendiri
Seseorang dengan imposter syndrome akan sulit untuk menerima dirinya sendiri. Mereka akan cenderung merasa tidak berharga, selalu merasa kurang dengan kemampuan yang dimiliki, dan menuntut kesempurnaan.
Penting upaya menumbuhkembangkan pemahaman atas diri sendiri jika kesempurnaan bukanlah hal yang utama. Namun, yang terpenting adalah untuk melakukan yang terbaik.
Menerima diri sendiri maksudnya mempercayai bahwa kamu mampu, dan menyadari bahwa kamu tidak sempurna. Hal ini akan membantu kamu mengatasi rasa takut akan penolakan atau kegagalan.
3. Melawan ketakutan atau pikiran negatif
Setiap kali pikiran negatif muncul, cobalah untuk melawan pikiran tersebut dengan positive self-talk. Belajar untuk memberikan apresiasi positif kepada diri sendiri terkait dengan semua pencapaian yang sudah dilakukan.
Semakin tenggelam kedalam rasa takut maka pikiran negatif pun akan menguasai diri. Dengan berani melawan, kamu memulai menghilangkan rasa takut tersebut. Otak kamu pun akan mulai berhenti memikirkan kemungkinan terburuk. Kamu harus percaya bahwa, kamu siap menghadapi tantangan dan mendapat pencapaian hidup yang lebih besar.
4. Bicarakan perasaanmu
Cara lain untuk menghadapi imposter syndrome adalah dengan membicarakan perasaan keraguan atas keberhasilan dan ketidakmampuan diri pada mentor atau orang yang dapat dipercaya.
Dengan menceritakan apa yang kamu rasakan dan pikirkan kepada orang-orang yang paham dan mengerti impostor syndrome, kamu akan terbantu untuk mengubah pemikiranmu. Apa yang kamu sampaikan kepada mereka akan memberikan efek positif terhadap rasa percaya diri akan kemampuan yang dimiliki.
Imposter syndrome sebenarnya dapat membuat seseorang tidak congkak, terus berusaha, dan bekerja keras untuk menghasilkan yang terbaik. Namun, jika kadarnya berlebih akan membuat seseorang meragukan kemampuannya, takut gagal, dan rendah diri sehingga mempengaruhi produktifitasnya dalam bekerja, menutup kesempatan diri untuk lebih berkembang yang sebenarnya dapat meningkatkan keterampilan serta menimbulkan kepuasan dalam hidup.
Sumber:
23 Januari 2023
Cara Mengatasi Burnout Saat Bekerja
TipsBurnoutKerja08 Mei 2023
5 Hal Penting Yang Harus Diperhatikan Saat Menerima Offering Letter
TipsKerjaCari KerjaOffering LetterPenawaran01 April 2023
3 Waktu Tepat Untuk Olahraga Saat Puasa
TipsOlahragaPuasaWaktu Tepat11 Oktober 2022
Tips Healing Murah Meriah di Rumah
tipshealingtraveling