14 September 2023
Berapa lama waktu yang harus kamu habiskan dalam satu hari untuk bekerja? Apakah 8 jam atau bahkan lebih? Pemenuhan target dan tanggung jawab yang diberikan, tidak jarang menuntut untuk bekerja lebih dari waktu yang sudah ditentukan. Bahkan, ada yang memang suka bekerja lebih dari 8 jam demi mencapai target dan penilaian baik dari atasan sehingga mengorbankan waktu pribadinya.
Jika kamu merasaka hal tersebut, selamat datang di Hustle Culture! Mungkin istilah ini pernah didengar atau justru masih asing. Hustule Culture merupakan istilah terlalu mementingkan pekerjaan diatas kepentingan pribadi. Sekilas mirip dengan workaholic namun bedanya hustle culture ini merupakan budaya yang dibentuk oleh lingkungan.
Simak informasi berikut ini untuk mengetahu lebih detail tentang hustle culture.
Dalam bahasa Indonesia, kata “hustle” diartikan sebagai “semangat yang meluap”. Hustle Culture adalah budaya yang mendorong seseorang untuk bekerja keras tanpa henti dimana pun dan kapan pun. Psikolog dari UGM, Indrayanti, M.Si., Ph.D., Psikolog., mengatakan hustle culture merupakan sebuah istilah yang berkembang dari workaholic. Ada tuntutan pekerjaan yang harus direspons secara profesional dan kualitas tinggi agar tidak dinilai buruk yang pada akhirnya tidak memiliki waktu untuk diri sendiri atau keluarga. Pada akhirnya kondisi ini berkembang lagi menjadi toxic productivity. Kondisi ini bisa terjadi pada siapapun tidak hanya di dunia kerja, tetapi juga di dunia pendidikan.
Lingkungan menjadi salah satu pemicu timbulnya hustle culture dengan standar-standar tertentu yang menuntut seseorang untuk mencapai kesuksesan seperti, mendedikasikan hidupmu untuk bekerja sekeras-kerasnya. Salah satu tokoh terkenal yaitu Elon Musk, CEO Tesla dan SpaceX dalam cuitannya dimedia sosial mengatakan bahwa:
“There are way easier place to work, but nobody ever changed the world on 40 hours a week”
Elon turut mempopulerkan hustle culture dan mendorong kaum muda untuk bekerja lebih keras. Penganut hustle culture percaya bahwa apa yang ia lakukan tak pernah cukup untuk mencapai kesuksesan.
Hustlers adalah sebutan bagi seseorang yang terjerat dalam hustle culture. Sekilas istilah ini terdengar keren tapi sebaliknya justru mengkhawatirkan. Ambisi yang tinggi untuk mencapai kesuksesan dan lingkungan yang mendukung budaya ini, membuat seseorang mengorbankan kehidupan pribadi dan kesehatannya.
Ciri-ciri seseorang hustlers yaitu:
Hustlers berpendapat bahwa mereka adalah kumpulan orang produktif. Padahal, keduanya jelas berbeda. Produktivitas diartikan sebagai cara menghasilkan output yang berkualitas dalam waktu singkat, sedangkan hustlers berusaha bekerja dalam durasi yang panjang, tanpa memperhatikan kualitas output yang berhasil diraih bahkan bisa terkesan terlalu keras.
Budaya ini juga berdampak terhadap penurunan kreativitas individu. Mengutip dari SkillAcademy, menurut Dr. Jeanne Hoffman, psikolog dari UW Medicine, bekerja lebih dari 50 jam per minggu justru melumpuhkan produktivitas dan inovasi seseorang.
Berikut beberapa hal penyebab hustle culture:
1. Konstruksi Sosial
Sulit dipungkiri bahwan saat ini, jabatan dan status sosial menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan seseorang. Terlebih lagi jika semua itu dapat diperoleh pada usia muda. Memang tidak salah menjadikan orang lain sebagai pemicu semangat bagi diri kita untuk lebih baik namun, saat semuanya sudah berlebihan maka tidak baik jadinya.
Memaksakan diri secara berlebihan untuk bekerja keras agar memperoleh pengasilan dan karier yang lebih baik tanpa mengetahui batasan diri sendiri tentu akan menyiksa diri sendiri. Budaya “hustle” memaksa seseorang untuk bekerja mati-matian demi menyandang titel sukses dari lingkungan sekitar
2. Toxic positivity
Saat kamu sedang merasa kesulitan, mungkin kamu pernah mendengar teman atau rekan kerja kamu mengatakan hal seperti ini
“Ayo kamu pasti bisa, itu hanya hal sepele. Kamu bisa melaluinya”
“Masa gitu aja capek? Kapan suksesnya?”
“Tingkatkan lagi pencapaian kamu. Masa baru segitu, kamu bisa lebih baik!”
Pernyataan diatas merupakan sedikit dari beberapa kalimat-kalimat dorongan yang masuk kedalam Toxic Positivity. Menurut Dr. Jaime Zuckerman, Psikolog Klinis di Pennsylvania, toxic positivity adalah dorongan untuk tetap berasumsi positif walaupun sedang mengalami situasi tertekan. Asumsi ini bersumber dari dalam hati atau perkataan orang di sekitar. Toxic positivity memaksa manusia untuk tetap tegar dalam situasi tersulit sekalipun. Pada akhirnya, kesehatan mental pun jadi terabaikan.
3. Teknologi
Kemajuan teknologi saat ini mempermudah pegawai dalam bekerja. Kapan pun dan dimana pun, tugas yang diberikan dapat dikerjakan dengan mudah akibat kemajuan teknologi. Namun, tanpa disadari kemajuan teknologi jadi penyebab hustle culture menyebar dengan cepat. Smartphone yang kamu miliki tak hanya berfungsi untuk berkomunikasi, melainkan sarana untuk bekerja. Mengirim email, menyusun presentasi, video call dengan atasan, hingga mengadakan diskusi antar tim bisa dilakukan dalam aplikasi yang tersedia di ponsel.
Tanpa disadari, deretan aplikasi tadi membuat seseorang bekerja terus menerus. Kemudahan dalam menjalankan urusan kantor berubah menjadi rasa cemas, takut, dan mendorong individu untuk bekerja sepanjang waktu.
1. Meningkatkan risiko penyakit
Penelitian yang dilakukan Current Cardiology Reports pada tahun 2018 menemukan bahwa orang yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu memiliki peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular. Bisa seperti infark miokard atau serangan jantung dan penyakit jantung koroner yang mematikan.
Jam kerja yang panjang menyebabkan tekanan darah dan detak jantung meningkat, akibat tekanan psikis yang berlebihan dan stres. Selain itu, kerja lembur juga berkontribusi terhadap resistensi insulin, aritmia, hiperkoagulabilitas, dan iskemia pada mereka yang sudah memiliki beban aterosklerotik yang tinggi, diabetes, dan stroke.
2. Gangguan kesejahteraan mental
Huslte culture dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan kesehatan mental, seperti gejala depresi, kecemasan, hingga pikiran untuk bunuh diri. Hustle culture membuat pekerja mengalami burnout dan berdampak negatif terhadap kesehatan, bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengartikan burnout sebagai suatu sindrom yang disebabkan oleh stres yang berkepanjangan.
Burnout syndrome menyebabkan para pekerja akhirnya merasa pesimis terhadap hasil yang mereka kerjakan, sehingga membuat para pekerja kekurangan motivasi dan tenaga untuk kembali bekerja serta tidak mampu menghadapi persaingan. Kesehatan mental dengan pekerjaan lebih erat hubungannya.
3. Kehilangan work-life balance
Work-life Balance adalah keseimbangan antara karir dan kehidupan pribadi. Menghabiskan waktu bersama keluarga, pasangan, maupun teman dapat mengurangi tingkat stres akibat pekerjaan. Sosialisasi berpengaruh terhadap kebahagiaan seseorang. Dilansir dari inc.com, kebahagiaan dapat meningkatkan kreativitas dan menghasilkan energi positif.
Indonesia pun tidak luput dari booming budaya kerja yang menggila ini, tidak sedikit pekerja yang mengalami gangguan kesehatan mental akibat jam kerja yang berlebihan. Termasuk di masa pandemi, kampanye work form home berisiko meningkatkan tren hustle culture karena bekerja dari rumah justru membuat batasan jam kerja hilang dibandingkan di kantor.
4. Kurang bersyukur
Pernahkah terbesit dalam benak kita merasa iri, saat melihat pencapaian rekan kerja di kantor atasu sosial media lebih baik dari kita. Salah satu ciri hustlers adalah tak mau tertinggal dari pencapaian orang lain. Sebisa mungkin harus berada di posisi sama. Karir dan finansial merupakan 2 hal yang selalu mereka kejar. Bukannya mensyukuri apa yang ada saat ini, malah terus mencari duniawi.
Bekerja keras adalah hal yang baik dan tidak dilarang. Namun, dengan semangat kerja yang menggebu-gebu, hustler mudah iri dengan kesuksesan orang lain. Hal ini sebenarnya bagus, karena mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang selalu berkembang. Akan tetapi, hustler tidak mau berhenti sebelum ia menjadi orang yang paling sukses di lingkungannya.
5. Menyusahkan rekan kerja
Apakah kamu pernah “diteror” oleh atasan untuk menyelesaikan pekerjaan diatas jam 12 malam? Atau mungkin pernah mendengar pernyataan ini, “Kenapa nggak angkat telepon saya semalam?” ujar seorang Manager di suatu pagi. Padahal, semalam yang dimaksud adalah pukul 2 dini hari saat kamu sedang tertidur akibat lembur. Pernah menghadapi situasi seperti ini?
Bisa jadi manager di kantormu adalah seorang hustler. Tak hanya merugikan diri sendiri, penganut budaya ini juga merugikan rekan satu tim. Mereka memaksa orang lain untuk bekerja dengan intensitas yang tinggi. Seringkali hustler memberi pekerjaan pada rekannya di jam istirahat atau hari libur.
1. Jangan membandingkan diri dengan orang dari media sosial
Salah satu sumber tekanan yang menciptakan hustle culture itu sendiri adalah media sosial. Semua orang ingin terlihat sukses dan mapan dengan pekerjaannya, lalu dengan bangga memamerkan bekerja tengah malam atau di akhir pekan, dan sebagainya.
Jangan bandingkan dirimu dengan mereka atau bahkan membuat ekspektasi lebih terhadap diri sendiri hanya karena orang lain melakukan hal tersebut. Setiap orang punya pace masing-masing, jangan takut terlihat tidak sukses atau terlambat mencapai posisi yang “seharusnya” dicapai.
2. Cari hobi di luar pekerjaan
Dilansir dari New York Times, mencari waktu luang untuk menjalani hobi dan apa pun itu yang dicintai bisa buat hidupmu lebih seimbang. Istilah yang mungkin lebih familiar untukmu, work-life balance. Jangan biarkan pekerjaan memakan seluruh waktu dan hidupmu. Namun, jangan terlalu leyeh-leyeh juga. Carilah titik paling seimbang di tengah-tengah.
3. Tahu batasan diri
Cara terakhir untuk menghindari terjebak dalam hustle culture adalah mengetahui batasan diri dan membuat batasan yang jelas. Tahu kapan harus bilang tidak dan berani untuk mengatakannya. Tahu kapan badan sudah meminta untuk istirahat, tahu kapan bisa diajak bekerja keras.
Intinya, jangan sampai memaksakan diri hanya karena ingin memenuhi standar yang bisa dibilang tidak manusiawi.
4. Tingkatkan self awareness
Supaya tidak mudah ikut-ikutan standar orang lain, kamu harus mengenal diri sendiri lebih jauh lagi. Self awareness ini ada banyak sekali bentuk aktualisasinya, seperti:
5. Niatkan diri untuk beristirahat
Tanda-tanda awal terjebak dalam hustle culture adalah ketika kamu mulai mengesampingkan waktu istirahat. Apabila perlu, atur waktu istirahat di Google Calendar supaya bisa jadi pengingatmu setiap saat bahwa kesehatan harus selalu menjadi nomor satu. Kuatkan komitmenmu untuk bekerja secukupnya saja supaya bisa tetap menjalani pola hidup sehat.
Hustle culture adalah budaya yang bisa pelan-pelan dihilangkan, kalau tiap orang bisa membatasi diri dan menghargai orang lain.
Sumber:
28 September 2023
Penyebab dan Cara Menangani Panic Attack
Panic AttackPenyebabTipsMenanganiGangguan08 Mei 2023
5 Hal Penting Yang Harus Diperhatikan Saat Menerima Offering Letter
TipsKerjaCari KerjaOffering LetterPenawaran16 April 2024
7 Pekerjaan Sampingan Bisa Dicoba Mahasiswa
Pekerjaan sampinganMahasiswaPart timefreelancePekerjaan sampingan mahasiswa